Pengukuhan Guru Besar UPI Prof. Dr. Nina Sutresna, M.Pd: Wanita dan Olahraga dalam Kacamata Sosisologi

GALAJABAR  – Prof. Dr. Nina Sutresna, M.Pd dikukuhkan menjadi Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dalam Bidang Ilmu Sosiologi Olahraga pada Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan (FPOK) di Kampus UPI, Jalan Setiabudi pada Rabu, 18 Mei 2022.

Dalam pidato pengukuhannya Prof. Nina Sutresna menyampaikan karya ilmiah tentang “Wanita dan Olahraga Dalam Kacamata Sosisologi.”

Dalam pandangan Prof. Nina Sutresna, dalam konteks budaya timur persepsi masyarakat terhadap kaum wanita yang melibatkan diri dalam kegiatan olahraga masih terganjal oleh kepercayaan, bahwa olahraga kerap dipandang sebagai dunianya kaum laki-laki.

Pemahaman ini tampaknya cukup beralasan, terutama jika dikaitkan dengan tolehan sejarah masa lampau. Dalam konteks pengistilahan, masih ada pendefinisian tentang wanita yang dimaknai sebagai mahluk yang “wani ditoto”.

Wanita dalam pandangan zoemulder dimaknai sebagai mahluk “yang diinginkan”. Dari sudut pandang feminis istilah wanita merupakan pelabelan jejak jejak peninggalan kultur patriarki yang tertinggal dalam tatanan bahasa Indonesia.

Wanita diukur lewat seberapa kesetiannya kepada lawan jenis. Wanita dinilai tinggi ketika bisa mengabdi sehingga menjadi diingankan oleh lelaki. Kesetiaan jadi lebih baik dari kemandirian.

Adanya makna tersebut, berimplikasi pada persepsi masyarakat tentang kaum wanita, terutama ketika dikaitkan dengan upaya menggali potensi untuk meraih prestasi dalam olahraga yang membutuhkan keperkasaan, kekuatan, dan kemandirian.

Dalam pandangan masyarakat Sunda, mitos “awewe dulang tinande” atau sosok perempuan Sunda yang diposisikan harus “lungguh timpuh emok andalemi”.

Seringkali menjadi penguat bahwa perempuan tidak pantas melakukan aktivitas olahraga, yang digambarkan sebagai kegiatan yang membutuhkan kekuatan, dan dominan dengan ciri maskulinitas.

Sejak sebelum lahir anak perempuan dan laki-laki diperlakukan berbeda, orangtua membuat persiapan yang sudah membedakan; perlengkapan biru untuk anak laki-laki dan merah jambu untuk anak perempuan.

Tuntutan akan kepatuhan dan konformitas bagi anak perempuan selama masa anak awal, menuntun anak perempuan berbakat, ke peranan prestasi kurang di dalam masyarakat.

Saat ini, terjadi peningkatan kuantitas dan kualitas wanita yg berperanserta dalam olahraga. Partisipasi wanita dalam OR prestasi, baik sebagai atlet maupun pelatih mengalami peningkatan yang signifikan.

Data jumlah wanita yang berpartisipasi, antara lain; Asian Games tahun 2019, 40% medali Indonesia disumbang dari atlet putri. Dari 28 atlet Olympiade yang berangkat ke Tokyo tahun 2021, 13 di antaranya adalah atlet putri.

Padahal kalau berkaca pada PON pertama di Solo thn 1948, jumlah atlet putri hanya sekitar 10%, yakni 9 atlet dari 87 peserta. Pada PON Jawa Barat tahun 2016, atlet putri mencapai 47.5%. Sedangkan pada PON Papua tahun lalu semakin meningkat jumlahnya, dan hampir semua nomor cabang olahraga diikuti oleh wanita.

Seiring dengan meningkatnya keterlibatan wanita, dalam OR tingkat tinggi, masih ada beberapa hambatan, terutama terkait dengan dimensi sosiologi yakni opini masyarakat. Ada beberapa isu yang menyertai keterlibatan wanita dalam olahraga.

Isu pertama adalah adanya budaya turun temurun, yang memilah olahraga layak dan tidak layak untuk kaum wanita. Sepak bola, tinju, gulat, dll yang digolongkan sebagai OR maskulin.

Pelabelan “jalingkak” menjadi alasan utama. sehingga dampaknya, tidak banyak anak perempuan yang mendapat dukungan, walaupun memiliki potensi.

Isu kedua, dalam keseharian, anak perempuan selalu diidentikan dengan kelemahlembutan, dan anak laki-laki sebagai sosok hebat, kuat, perkasa.

Komentar “pukulanmu lembek seperti anak perempuan”, ketika anak laki memukul dengan lemah, atau “larimu hebat seperti anak laki-laki”, ketika anak perempuan bisa berlari kencang, lumrah terlontar di masyarakat.

Beberapa hasil penelitian mengindikasikan bahwa stereotip gender mempengaruhi aktivitas olahraga pada wanit. Hal ini terutama berlaku untuk olahraga yang biasanya dianggap cocok untuk laki laki.

Masih ada stereotif tentang “u throw like a girl” atau “girl should cock rather than kick”. Sekecil apapun stereotif itu, pada dasarnya dapat merusak dan mengancam keyakinan anak permpuan dalam aktivitas olahraga.

Deklarasi UNESCO tahun 1978 silam, disyahkannya UU no 3 tahun 2005, membuka peluang bagi kaum wanita untuk mensejajarkan diri dengan kaum laki-laki dalam aktivitas olahraga.

Olahraga merupakan bagian dari HAM yang dilindungi UU. Terbuka peluang bagi kaum wanita, tidak saja terbuka untuk menjadi atlet dalam semua cabang olahraga yang dianggap sebagai miliknya kaum laki laki, namun juga bisa berkiprah sebagai pelatih atau pimpinan organisasi OR.

Namun mengingat ada data dan fakta biologis, menyebabkan perlunya pemikiran ulang yang lebih cermat, terutama terkait dengan masalah pelatihan pada level yang tinggi bagi atlet perempuan. Hasil telaahan tersebut antara lain:

1. Pada cabor dominan estetika, atlet wanita cenderung mengalami gangguan pola makan. 15-62%, anorexic (nafsu makannya rendah), atau bulimic (memuntahkn kembali yang sudah dimakan). Atlet terobsesi melakukn OR dan diet untuk menurunkan berat badan secara berlebihan.

2. Stress psikologis merupakan penyebab gangguan siklus menstruasi. Olahraga dapat menimbulkan kegembiraan dan di sisi lain bisa menjadi pemicu stress. Stress kompetisi dpt menyebabkan gangguan sistem hormonal. Atlet elite diperkirakn 66% mengalami gangguan menstruasi).

Walaupun ada beberapa gangguan yang kerap dialami, ternyata persoalan yang dialami oleh kaum wanita dalam konteks OR prestasi tinggi, seringkali disebabkan bukan karena factor fisiologi, tapi lebih pada masalah psikososial.

Sampai saat ini masih cukup sulit untuk mendapatkan atlet wanita yang mau menggeluti beberapa cabang olahraga “maskulin”, karena kurangnya dukungan dari keluarga dan lingkungan.

Wilayah kajian semakin luas, seiring dengan semakin terbukanya kesempatan atlet wanita untuk mengembangkan potensinya. Lingkup kajian tidak saja mengkaji tentang atlet tapi juga merambah pada wilayah lain, misalnya tentang supporter wanita, dampak lingkungan, dll.

Kondisi ini akan semakin membuka peluang untuk meningkatkan prestasi olahraga bagi kaum wanita, dengan tetap mempertimbangkan berbagai hal, sehingga bisa diterima oleh masyarakat. ***

Editor: Hj. Eli Siti Wasilah

 

Sumber : https://galajabar.pikiran-rakyat.com/jabar/pr-1084502959/pengukuhan-guru-besar-upi-prof-dr-nina-sutresna-mpd-wanita-dan-olahraga-dalam-kacamata-sosisologi?page=all